Perihal ‘Perempuan Super’ yang Berujung Multi Beban

Dari masa ke masa, selalu saja ada artikel perihal perempuan yang menuai pro kontra: pilihan antara bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Dalam sebuah website, ada sebuah artikel berjudul “Kenapa Cewek Perlu Bekerja dan Bukan Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga? Ini Alasannya!”, lantas mendapat banyak komentar dari para warganet yang umumnya merujuk pada 3 hal. Pertama, ibu boleh bekerja di luar asal mendapat restu dari suami. Kedua, ibu boleh bekerja di luar asal mampu membagi waktu untuk mengurus keluarga. Ketiga, ibu dapat bekerja melalui penyaluran hobi, sehingga tidak perlu keluar rumah. Dari situ, terlihat bahwa sebagian besar netizen tidak terlalu setuju dengan si penulis dan berpendapat kalau perempuan tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya di rumah. Jelas saja, artikel itu hanya dibagikan (di-share) hanya sekitar 13.000 kali.

Pada website yang sama, artikel berjudul “Nggak Ada yang Disayangkan dengan Menjadi Ibu Rumah Tangga, Walau Kamu Bergelar Sarjana” banyak menuai pujian manis dari para pembaca. Artikel tersebut telah mendapat share sebanyak 154.570 kali dengan si penulis menuangkan 6 keunggulan menjadi seorang ibu rumah tangga. Diikuti dengan hasil penelitian guna menguatkan argumennya. Seluruh poin yang dituangkan oleh si penulis mendapat persetujuan sekaligus pujian dari para warganet. Meski tetap ada komentar yang mengungkapkan bahwa perempuan bekerja sangat penting, namun pendapat dominannya adalah perempuan harus mampu membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga alias menjadi “perempuan super”.

Benang merah dari kedua artikel itu, para pembaca melihat bahwa ibu bekerja itu dapat dilakukan tetapi
tidak boleh lupa untuk mengurus keluarga (ranah domestik). Idealnya, perempuan mampu membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga. Menjadi sebuah kebanggan, bagi mereka yang mampu melakukan itu. Bisnis online juga dijadikan sebagai alternatif agar perempuan dapat tetap bekerja (bekerja di dalam rumah) tetapi juga tidak meninggalkan pekerjaan rumah tangga.

Ibu seolah dituntut menjadi sosok “perempuan super” yang mampu bekerja di ranah publik dan domestik. Sebuah kebanggaan tersendiri apabila mampu mengerjakan tugas ganda tersebut. Bagaimana sebenarnya perempuan menyelami dirinya sebagai sosok “perempuan super” tersebut? Apakah aspek biologis yang menjadikan perempuan sebagai sosok yang tepat untuk mengerjakan tugas domestik?

Bagi feminis psikoanalisis, cara perempuan bertindak dan berpikir berakar pada psike perempuan. Tokoh feminis psikoanalisis awal seperti Adler, Horney, dan Tompson berpendapat kalau identitas gender dan perilaku gender perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta biologis melainkan hasil dari nilai-nilai sosial (Tong, 1998). Horney juga berpendapat bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan dan laki-laki sangat dibedakan peran dan tugasnya sedari kecil (selama proses pertumbuhan) dan inilah yang membentuk seseorang sebagai manusia.

Chodorow dalam bukunya, “The Reproduction of Mothering:  Psychoanalysis and the Sociology of Gender” mengungkapkan, pembentukan kognisi anak perempuan dan laki-laki terbangun sejak kecil melalui role  learning atau belajar peran dari orang tuanya. Peran ibu yang dicontohnya,  permainan, serta media yang menggambarkan perempuan ideal, membuat anak  perempuan mengidentifikasi dirinya untuk menjadi sosok perempuan. Perempuan jadi mengembangkan batas-batas ego yang  menyebar, menyatukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain, yang  membuatnya merasa tidak nyaman saat mengambil kepentingannya pribadi secara  independen (Tong, 1998). Hal inilah yang membuat perempuan cenderung  mengorbankan dirinya sebagai wujud pembatasan ego. Dari gagasan Chodorow ini, kita bisa dapati bahwa internalisasi peran-peran yang dilekatkan kepada perempuan jelas berasal dari konstruksi sosial yang ditanamkan sejak kecil, salah satunya melalui keluarga.

Kembali pada dua artikel dengan segudang komentar netizen tadi, nampak bahwa perempuan ideal dimaknai  sebagai sosok yang mampu membagi waktunya antara bekerja dan keluarga.  Peran ganda tersebut menuntut perempuan untuk menjadi “perempuan super” yang (mungkin)  juga tidak sanggup dijalani oleh laki-laki. Multi beban (multi burden) yang  dilekatkan kepada perempuan menghidupkan stereotipe “ibu baik”, yakni perempuan  yang sanggup bekerja di ruang publik serta mengurus keluarga. Peran “ibu baik” ini  tumbuh subur dalam masyarakat patriarkal.

Adler, Horney, dan Tompson mengungkapkan, peran gender diakibatkan oleh nila-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Perempuan dilekatkan akan tugas domestik agar dapat  menjadi istri yang baik, sementara laki-laki layak untuk bekerja pada ranah publik  agar mampu menjadi kepala rumah tangga yang hebat. Internalisasi peran gender ini makin diperkuat melalui institusi terkecil, yakni keluarga. (Fakih, 1996).

Selain keluarga, nilai yang berlaku dalam masyarakat juga menuntut  perempuan untuk bertanggung jawab dalam melakukan pengasuhan. Dalam masyarakat yang patriarkal, dikotomi tugas  perempuan dan laki-laki yang sangat bias itu berimplikasi pada pemaknaan “pekerjaan  perempuan” (Fakih, 1996). Kondisi tersebut membuat perempuan dianggap sebagai sosok satu-satunya yang  tepat untuk bertanggung jawab pada pengasuhan dan ini juga diamini oleh perempuan itu sendiri.

Implikasinya, perempuan mengalami dilema secara psikologis. Perempuan tetap mendorong  dirinya agar mampu bekerja di ranah publik sekaligus mengerjakan tugas domestik secara bersamaan. Perempuan tidak ingin terlihat egois hanya dengan fokus bekerja,  karena tugasnya dalam ranah domestik tidak boleh dilepaskan begitu saja. Masyarakat juga akan menilai buruk perempuan yang tidak mengurus keluarga dan sibuk dengan  pekerjaan di luar. Peranan inilah yang menjadi wujud pengorbanan perempuan.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Chodorow, perempuan mengembangkan  batas-batas ego dan membuatnya tidak merasa nyaman saat mengambil kepentingan  pribadi. Pengorbanan diri adalah wujud pembatasan ego. Artinya, peranan sebagai  “perempuan super” adalah wujud pembatasan ego sekaligus pengorbanan. Pada satu  sisi, bekerja merupakan bentuk aktualisasi diri sekaligus pencarian nafkah untuk  membantu perekonomian keluarga, namun di sisi yang lain tugas domestik juga tidak  boleh terlupakan sebagai wujud cinta terhadap keluarga. Tuntutan untuk menjadi “perempuan super” inilah yang terus menerus menggerogoti diri perempuan dengan meminta pengorbanan secara terus menerus.

Wacana “perempuan super” ini perlu dilihat secara hati-hati. Kebanggaan bisa multitasking tanpa melibatkan laki-laki sebagai sosok yang menjadi pendamping si istri hanya akan menyuburkan pandangan yang bias dan timpang. Laki-laki harus terlibat aktif sebagai bagian dari support system keluarga. Musyawarah bersama adalah langkah penting dalam mendiskusikan pembagian peran secara terbuka. Karena tugas publik dan domestik tidaklah berjenis kelamin, melainkan dapat dikerjakan oleh siapa saja.

Hal yang juga tak kalah penting dalam perdebatan ibu bekerja dan ibu rumah tangga adalah: perempuan mampu memilihnya secara “sadar”. Membangun agensi diri untuk merefleksikan gambaran diri dan tujuan hidup secara kritis merupakan aspek yang sangat diperlukan bagi perempuan. Dalam setiap pilihan-pilihan itu juga dibangun sistem pendukungnya, sehingga perempuan tidak berjuang sendirian, juga tidak melulu sebagai satu-satunya pihak yang terus berkorban. Karena semua manusia memiliki kesempatan untuk membentuk dirinya secara  kreatif dan aktif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Adler, Horney, dan Thompson. 

Andi Faizah

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *