Curahan Hati Perempuan itu juga Sumber Pengetahuan
Judul buku | Anatomi Perasaan Ibu |
Pengarang | Sophia Mega |
Penerbit | EA Books |
Tahun terbit | 2023 |
“Tangisku pecah karena dipenuhi banyak emosi, amarah karena berusaha membuktikan kemampuanku pada ibu dan mertuaku, sakit karena harus menghadapi rasa nyeri dan bekas sayatan, telah menghadapi malam-malam yang berat, tetapi juga harus sedih karena tak bisa jadi ibu yang baik untuk anakku”
Kerap kali saya mendengar setiap curahan hati perempuan dianggap terlalu personal. Seolah hal itu tak layak untuk dibicarakan. Harus ditutup rapat-rapat. Juga tak patut dipublikasi. Tetapi membaca buku Sophia Mega berjudul “Anatomi Perasaan Ibu” membuat saya merasa optimis. Bahwa ada ruang berani untuk menuangkan pengalaman diri sebagai perempuan, anak, istri, ibu, sekaligus menantu.
Tidak banyak orang yang mau mengangkat kehidupan pribadinya di publik. Apalagi menuliskan relasi dirinya dengan pasangan, juga dengan keluarga. Membaca buku ini membuat saya merasakan pikiran penulis sekaligus kedihan juga emosinya yang meledak-ledak. Buku ini terdiri dari empat bagian, mulai dari pernikahan, hamil, melahirkan, hingga menjadi ibu. Dalam empat bagian itu, Sophia menceritakan setiap fase hidupnya tentang pengalaman diri, menjadi apa adanya di depan para pembaca.
Saya menikmati membaca buku ini, karena Sophia banyak menuliskan keseharian yang sebetulnya sangat relate dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang perempuan. Misalnya ketika Sophia menceritakan relasinya dengan mertua berkaitan dengan pengasuhan anak. Atau juga kegamangannya sebagai ibu bekerja. Saya yakin bahwa banyak perempuan di luar sana yang mengalami hal serupa.
Namun mencari pekerjaan sebagai ibu ternyata juga tak mudah. Aku pernah menerima pertanyaan saat wawancara kerja dari user, “Setahuku kamu kan sudah punya anak, bagaimana kamu menyeimbangkan waktumu bekerja?” Aku yakin seorang laki-laki yang memiliki anak tak akan menerima pertanyaan macam itu.
Dari kutipan di atas, saya yakin bahwa Sophia tidak sendiri. Ibu bekerja lainnya juga mengalami kegalauan itu. Tuntutan untuk menyeimbangkan peran, tetapi tidak demikian pada laki-laki. Dari pengalaman Sophia, menurut saya dapat memantik collective feels di kalangan ibu bekerja, karena ada perasaan yang divalidasi. Ada pengalaman diri yang juga serupa dengan perempuan di luar sana. Elif Shafak dalam bukunya berjudul “How to Stay Sane in an Age of Division” menyebutkan, dalam konteks bercerita ada 2 sisi koin yang saling terhubung. Bercerita dan kemauan untuk mendengarkan. Lewat bertukar cerita inilah ada perasaan terhubung secara kolektif (collective feels).
Curahan hati yang dituangkan Sophia sebetulnya merupakan bagian dari feminine writing, yang berupaya untuk menyuarakan pemikiran, kegelisahan, juga amarahnya sebagai seorang perempuan. Feminine writing dalam hal ini hadir untuk mendobrak tulisan-tulisan yang selama ini begitu mainstream dan sangat maskulin, menjadikan suara perempuan sebagai subjek. Curahan hati inilah yang sebetulnya menjadi sumber pengetahuan, bahwa hingga hari ini perempuan masih terpinggirkan. Bahwa hingga hari ini, kebijakan yang ramah terhadap perempuan di dunia kerja belum benar-benar hadir. Saya pikir, sangat penting untuk ada Sophia Mega lainnya yang berani menulis juga merefleksikan pengalaman dirinya agar feminine writing dapat terus disuarakan.
(Andi Faizah)