Menyoal Perempuan Lanjut Usia (Part 1)

“Kita (lansia) selalu dianggap sebagai orang yang tidak bisa berpikir lagi dan yang selalu diangkat selalu penyakitnya, bukan produktivitasnya… Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seseorang di usia lansia itu masih bisa tetap produktif. Kita (lansia) jangan dianggap sampah begitu saja…dan kita sebagai lansia tidak ingin menjadi beban orang lain.”

Pernyataan Saparinah Sadli tersebut mendapat tepuk tangan meriah dari para lansia di sebuah seminar bertema Peran Lansia dalam Pembangunan Indone- sia yang diselenggarakan oleh LANTIP Indonesia pada 2019 lalu. Pasalnya, lansia kerap distigma sebagai sosok yang renta, lemah fisik dengan penyakit, serta tidak produktif. Padahal, lansia di antara usia 60 hingga 90 tahun adalah kelompok yang sangat beragam. Kondisi kemampuan kognitif, kebutuhan, minat, dan harapan yang berbeda-beda adalah ragam kondisi lansia (Sadli, 2018).

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (lansia), lansia merupakan individu yang berusia 60 tahun ke atas. Adapun menurut pakar ilmu sosial, lansia dibagi dalam tiga kategori usia, yaitu kelompok usia 65-74 tahun yang disebut “muda-tua” (young-old), usia 75-84 tahun yang disebut “tua- tua” (old-old), dan usia di atas 85 tahun yang disebut “sangat tua” (oldest-old). Dalam literatur, proses menua dibagi menjadi dua yaitu (a) primary aging yaitu proses menua biologis yang normal, terjadi perlahan, dan terus berjalan seperti rambut memutih atau menipis, pengurangan pendengaran atau penglihatan, dan lain-lain; (b) secondary aging adalah proses menua yang dipengaruhi oleh kondisi tubuh karena seseorang mengidap penyakit tertentu (Papalia, 2004 dalam Sadli, 2018).

Secara statistik, usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada 2020, angka harapan hidup perem- puan tercatat sebesar 73,46 tahun sedangkan laki-laki tercatat sebesar 69,59 tahun. Angka harapan hidup perempuan tersebut terus meningkat dalam 10 tahun terakhir (databoks.katadata.co.id, 2021). Berdasarkan status perkawinan, persentase lansia laki-laki kawin lebih tinggi daripada persentase perempuan kawin, yaitu 82,78% dibanding 39,25% (Kemenkes, 2017). Sedangkan perempuan lansia yang tinggal sendiri lebih tinggi hampir tiga kali lipat dibandingkan laki-laki lansia, yaitu 14,13% berbanding 5,06% (BPS, 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan lansia cenderung dapat hidup mandiri dibandingkan laki-laki lansia. Namun demikian, pengalaman dan suara perempuan lansia sangat jarang dicatat dan dijadikan topik bahasan. Padahal, perempuan lansia itu ‘ada’ tetapi mereka seperti tidak dianggap penting secara akademis ataupun sosial (Sadli, 2018).

Dimensi Gender dalam Telaah Lansia

erempuan lansia memiliki situasi yang berbeda dibandingkan laki-laki lansia. Dari aspek biologis, menopause menjadi salah satu masalah bagi perempuan. Masyarakat sejak lama menganggap bahwa perempuan yang telah memasuki masa menopause bukanlah perempuan yang utuh, karena tidak dapat hamil lagi. Banyak perempuan yang kemudian terinternalisasi bahwa menopause adalah awal dari rentetan ketidaknyamanan masa tua, sedangkan pada laki- laki tidak ada tanda signifikan yang cukup kasat mata untuk mengawali masa tua (Jurnal Perempuan, 2002). Padahal, stereotipe tentang menopause lebih merupakan mitos. Banyak perempuan lansia yang merasa terbebas dari menstruasi yang datang setiap bulan dan mereka justru memiliki kesempatan baru untuk melakukan hal khusus bagi dirinya sendiri (Sadli, 2018).

Dalam berbagai kajian, perempuan lansia cenderung kehilangan kuasa, termarjinalisasi, kehilangan sumber finansial, dan mendapat stigma negatif sebagai beban masyarakat (Calasanti et al, 2006 dalam Nailah, 2020). Situasi yang terjadi pada perempuan lansia tersebut merupakan akumulasi dari bias gender yang dilekatkan pada diri perempuan. Dalam masyarakat yang masih patriarkal, kerja domestik dikonstruksikan sebagai kewajiban perempuan. Akibat faktor struktural berbasis gender, merawat anggota keluarga sepanjang perjalanan hidup secara sistematis merugikan kehidupan perempuan. Kewajiban perawatan keluarga secara otomatis menjauhkan perempuan dari angkatan kerja, serta peluang dan pendapatan yang terbatas dalam pasar kerja. Implikasinya, perempuan cenderung tidak mendapat manfaat dari jaminan sosial atau program pensiun dan terbatas aksesnya terhadap fasilitas kesehatan, sehingga tingkat kemiskinan perempuan jauh lebih tinggi daripada laki-laki di masa tua. Kemiskinan yang terjadi pada perempuan lansia adalah dampak yang terakumulasi dari penghasilan yang rendah seumur hidup mereka, demikian juga dengan rendahnya uang pensiun, status sosial, dan akses terhadap hak milik dan warisan (Nailah, 2020; Hooyman et al, 2008; Jurnal Perempuan, 2002).

Perempuan di hari tua juga mengalami beban berlipat ganda akibat konstruksi gender. Perempuan lansia sebagai ibu, istri, sekaligus nenek memiliki peran besar dalam perawatan keluarga. Perempuan lansia menjadi caregiver (pengasuh) bagi pasangannya ketika mereka sama-sama telah menjadi lansia. Bahkan perempuan lansia mengalami situasi dilematis ketika dihadapkan pada pilihan untuk merawat pasangan yang sakit atau membantu mengasuh cucu ketika anak- nya sedang bekerja (Marcoes, 2021; Nailah, 2020). Situasi tersebut semakin diperparah oleh ageisme yang memandang perempuan lansia sebagai kelompok nonproduktif, kondisi fisik yang tidak lagi menarik, kesehatan yang rentan, ingatan yang tumpul, dan lain-lain. Padahal, situasi perempuan lansia amatlah beragam.

(Andi Faizah)

Tulisan ini telah terbit di Majalah Swararahima Edisi 60 Maret 2022

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *