Menyoal Logika Pemberdayaan, Gender, dan Pembangunan

Andi Misbahul Pratiwi

Judul:Logics of Empowerment: Development, Gender, and Governance in Neoliberal India  
Tahun:2008
Penulis:Aradhana Sharma

Logics of Empowerment adalah sebuah kajian etnografi pembangunan pada sebuah negara berkembang, dunia ketiga, selatan, yang dilihat sedang naik daun dan berhasil masuk dalam masa keemasan perekonomian. India sebuah negara yang telah mengalami transformasi ekonomi. Narasi utama yang ingin dikritisi adalah sebuah kisah tentang kesuksesan pembangunan dan apa sebenarnya makna dari pembangunan itu sendiri. Dalam bagian pendahuluan buku ini dijelaskan bahwa hampir diseluruh dunia, pakaian, musik, film, makanan India ada. Sehingga Sharma mencoba apakah pembangunan di India patut dirayakan ataukah sebalikanya? Pertanyaan yang mencurigai apa sebenarnya yang ada dibalik perubahan pendekatan pembangunan yang sebelumnya adalah wellfare menjadi pemberdayaan. Apakah benar dengan tujuan untuk membuat masyarakat mandiri dan tidak mengandalkan sumbangan negara. Ardhana Sharma menempatkan buku ini di tengah-tengah perdebatan-perdebatan tentang pembangunan India sebagai yang berhasil ataukah justru merepresi. Sharma menunjukkan keduanya, bahwa pembangunan selalu memiliki dua sisi, paradoksal, seperti apa yang disebut D Gow sebagai Evil Twins.

Transformasi ekonomi di India telah berlangsung selama puluhan tahu, dimulai pada tahun 1980an telah terjadi liberalisasi ekonomi, dimana pemerinta mulai melakukan banyak divestasi di sektor formal. Perubahan ini meningkat pada tahun 1990an di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Manmohan Singh. Pertumbuhan ekonomi India cepat, seiring dengat itu korupsi pun merajalela. India masuk ke dalam masa pembangunan, sebagai sebuah negara yang sedang naik daun dengan banyaknya wirausaha, pemuda inovatif dan produktif.

Logics of Empowerment merupakan sebuah kajian etnografi yang dilakukan selama 20 bulan di India (Uttar Pradesh, India Utara, Chandpur, Nizabad). Fokus penulis, Aradhana Sharma adalah pada program Mahlia Samakhya (MS) yang merupakan organisasi non pemerintah yang dikelola oleh pemerintah (Government-Non Government Organization/GONGO). Proyek Mahlia Samakhya bertujuan untuk memberdayakan perempuan kasta rendah (Dalit) di perdesaan India yang dimiskinkan secara struktural oleh sistem sosial dan politik yang ada. MS merupakan program unggulan di departemen pendidikan India. Dalam buku ini Sharma hendak menunjukkan bagaimana MS terjebak dalam apa yang disebut neoliberalisme, sehingga ia menyebutny sebagai sesuatu yang paradoksal, di satu sisi program MS berkontrbusi pada proses demokratisasi dan di sisi lain malah memperkuat sistem sosial dan politik yang menindas kelompok yang selama ini ditargetkan atau sebagai subjek dari konsep empowerment/pemberdayaan.

Pada bagian pendahuluan dan bab pertama, Sharma menjelaskan tujuan, konsep-konsep dan metodologi yang digunakan dalam kajian etnografi ini.Penulis menguraikan rangkaian konsep yang terkait tentang wacana feminis MS, yaitu Gender dan Development (GAD), konsep pedagogi praksis dari Paulo Freire, Ideologi dan strategi pembangunan dari Gandhi, dan konsep neoliberalisme dari Bank Dunia yang kemudian membawa semua aktivitas manusia menjadi aktivitas ekonomi dalam wilayah pasar. Menurut Sharma setidaknya keempat konsep di ataslah yang menjadi panduan “logika pemberdayaan” kontemporer.

Pada Bab 2 dan 3, Sharma menjelaskan tentang konsep dari Organisasi Non-Pemerintah yang Dikelola Pemerintah (GONGO) sebagai sebuah kategori untuk menjelaskan status dari program MS. Pada Bab ini Sharma mengkaji dan hendak memaparkan bahwa ada hubungan antara term kesejahteraan/wellfare dengan pemberdayaan/empowerment, keduanya merupakan transformasi konsep pembangunan yang Sharma katakan sebagai tuntutan dari neoliberal yang terus menyerukan adanya efisiensi, efektivitas, pembentukan badan-badan pemerintah baru yang sebenarnya dimunculkan dengan tanggung jawab yang sama dengan konsep-konsep pembangunan sebelumnya. Apakah sebenarnya perbedaan pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan pemberdayaan? Berkali-kali Sharma tegaskan dalam bukunya sehingga pendekatan pembangunan bukan hanya dilihat dari satu sisi saja.

Pada Bab 4, Sharma menguraikan tentang wacana performativity dari Judith Butler. Fokus utamanya adalah pada upaya para aktor MS melakukan pertemuan pura-pura dengan Bank Dunia, seakan-akan membahas persoalan yang ada untuk menunjukkan bahwa ada perkembangan dari proses pembangunan itu sendiri, namun tentu saja hal itu tidak dengan otomatis diimplementasi dalam praktik pemberdayaan MS.

Pada Bab 5, Sharma menjelaskan cukup panjang tentang kehidupan berbagai aktor yang terlibat dalam proses pembangunan atau yang disebut pemberdayaan. Aktor tersebut antara lain Petugas Pembangunan Blok, Pegawai Negeri Sipil, Penduduk Dalit (kasta rendah di India). Penulis berpendapat bahwa ada interaksi antara subaltern (masyarakat yang tertindas) yang kemudian menghasilkan pengetahuan tentang hak sebagai warga negara. Selanjutnya aktor di subaltern ini mengajukan pesan kuat bahwa keadilan sosial bisa tercapai dengan adanya negara yang etis redistributif, menjaga ddan berperilaku etis, serta berperan aktif untuk menghapuskan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh kapitalisme dan hegemoni kekuasaan sosial dan politik dominan. Konsep negara yang diajukan bukanlah negara yang neoliberal,bukan juga negara Marxisme klasik ataupun anarkisme. Dengan demikian Sharma menyimpulkan bab terkahir dengan mengintrogasi konstruksi gender untuk melihat wacana pembangunan yang sangat maskulin, meski ditargetkan untuk perempuan.

Governmentaliy dan Performativty

Buku ini ditulis dengan menggunakan kajian entnografi dan menggunakan konsep-konsep seperti govermentality dari Foucault,  performativity dari Buttler, hegemoni dari Gramscii, gender dan development (GAD) dan Neoliberalisasi.  Sharma menggunakan konsep governmentality[1] dari Michel Foucault untuk menjelaskan bahwa dalam program MS yang dikelola pemerintah, justru merepresi masyarakat, terutama target sasaran program. Michel Foucault menggunana istilah governmentality untuk menggambarkan transisi penting dalam cara dan cara pemerintahan di Eropa dari kekuasaan kedaulatan represif yang terutama berkaitan dengan penguasaan wilayah terhadap bentuk biopower dan peraturan yang dipusatkan pada perawatan dan kesejahteraan penduduk yang tinggal di wilayah tertentu. Foucault menarik perhatian pada keseluruhan praktik dan institusi pengawasan dan tata kelola, termasuk namun tidak terbatas pada lembaga negara, yang mengatur perilaku suatu penduduk dan mengarahkannya ke tujuan tertentu. Setelah Foucault, Sharma menerapkan konsep governmentality untuk memberi sinyal difusi mode pengaturan mandiri, seperti pemberdayaan, di seluruh masyarakat dan pada beragam aktor sosial, termasuk individu dan LSM, dalam proyek peraturan; Negara, dalam kerangka ini, adalah salah satu dari beberapa node governmentality.

Seperti halnya Sharma yang menggunakan konsep governmentality, Tania Li dalam The Will To Improve juga menggunakan konsep tersebut. Jika Sharma hendak melihat bagaimana negara menjadi aktor dalam pembangunan yang berwujud dalam program MS, lain hal dengan Tania Li yang hendak memperlihatkan bahwa bukan hanya negara yang menjadi aktor utama pembangun namun juga masyarakat. Sebaliknya keduanya memiliki irisan pemikiran yang sejalan, bahwa pembangunan atau logics of empowerment tidak serta merta memabawa perekonomian India menuju kepusat, di sisi lain apa yang disebut Li sebagai kehendak baik justru tidak serta merta bebas dari resiko-resiko, yang dalam Logics of Empowerment sebagai bentuk represi negara terhadap masyarakat yang patut dikritisi.

Li menggunakan governmentality dari Foucault untuk menjelaskan bahwa dalam proses pembangunan bukan hanya negara, LSM, donor dll yang hadir tetapi masyarakat juga sebagai subjek pembangunan itu sendiri hadir dan menjadi penentu sebuah pembangunan. Tania Li melihat pembangunan sebagai sebuah bentuk kepengaturan/order[2] bukan pendisiplinan/punishment[3]. Sedangkan Sharma melihat bahwa ada upaya pendisiplinan masyarakat melalui program MS yang mengarahkan pada perilaku tertentu. Meskipun berbeda dalam melihat pembangunan ada kesamaan pendapat bahwa The Will To Improve sebagai kehendak yang tersebar, bukan hanya negara tapi juga masyarakat yang memiliki pengetahuannya (knowledge) atas kemajuan-kemajuan. Di India kehendak tersebar itu terjadi, pengetahuan akan hak-hak atas warga negara, dan kesadarkan akan konsep bernegara yang etis dijelaskan dalam Logics of Empowerment. Meskipun sama-sama menggunakan teori Foucault, Tania Li memiliki pandangan yang berbeda dari pemikir kritis antropologi pembangunan lainnya, Escobar & Ferguson yang melihat bahwa proyek pembangunan adalah kelanjutan dari kolonialisasi negara mantan penjajah pada negara mantan jajahannya. Tania Li menghadirkan masyarakat sebagai aktor pembangunan yang juga memiliki kehendak dan melihat konsep governmentality Foucault sebagai conduct of conduct. Sedangkan Sharma berpendapat bahwa negara menjadi bagian dari konsep governmentality cenderung berupaya melakukan pengaturan/order terhadap aktor-aktor pembangunan lain, termasuk individu maupun LSM.

Sharma juga melihat program MS dalam kacamata teori performativity/performativitas dari Judith Butler. Sharma melihat bahwa program MS dipengaruhi juga oleh kesejarahan pembangunan di India pasca kolonial. Konsep perfomativity bertujuan untuk melihat bagaimana pembangunan dan pemberdayaan diimplementasikan dalam dunia sehari-hari dalam tataran praktis. Sehingga buku ini menurut Sharma bukan sebagai evaluasi atas keberhasilan atau kegagalan program pembangunan dengan pendekatan “pemberdayaan” tadi yang menargetkan perempuan terpinggirkan, melainkan untuk melihat proses pembangunan dengan kaca mata kritis dan feminisme. Karenanya penilaian yang hanya mengukur keberasilan atau kegagalan program hanya dapat diukur pada target awal program saja, sedangkan Sharma henda melihat bagaimana program MS yang diprakarsai oleh pemerintah mencapai keberhasilan atau kegagalan. Sharma merujuk pada pemikiran Ferguson tentang konseptu dan stratei pembangunan oleh pemerintah di lapangan. Sehingga jika disimpulkan secara singkat bahwa Sharma melalui buku ini tidak hendak mengevaluasi program MS melainkan untuk mengkaji program MS dengan segala target, sasaran serta pengelolaannya.

Logika Pemberdayaan yang Terjebak dalam Logika Neoliberal

Sharma dalam bukunya melakukan pendekatan yang terperinci untuk menganalisis struktur, praktik, dan dampak program MS terhadap kelompok sublatern di India. Menurut Sharma inisiasi MS dan logika pemberdayaan yang digunakan untuk menangani berbagai masalah oleh pemerintah adalah sebuah hasil dari beberapa sebab yang saling interseksionalitas/berpotongan, yaitu karena adanya mobilisasi politik kelompok subaltern di India oleh organisasi akar rumput dan partai politik, ativisme feminis yang mengarah pada lembaga-lembaga di India,  perdebatan feminis selatan tentang isu gender dan pembangunan, dan feminisme transnasional serta pedagogi radikal Paulo Freire.

Program MS ini juga bukanlah satu entitas monolitik, melainkan dikendalikan oleh kasta, kelas, dan kekerabatan. Nuansa ini berdampak pada kinerja dan tindakan perempuan yang akhirnya menentukan keseluruhan agensinya. Namun uraian tentang konsep kasta secara keseluruhan tidak dipaparkan lebih jauh dalam buku ini. Penulis banyak menjelaskan tentang kategori gender yang kemudian didekontruksi dalam konteks masyarakat India. Selain itu dalam buku ini di juga disajikan kisah-kihsa berbagai Dalit, dan penulis menyoroti “Dalit-ness”. Namun Sharma sebagai penulis penulis tidak mengunakan/menguraikan istilah “Dalit” untuk membahas kontur sosiologis komunitas kasta yang dia pelajari. Meskipun demikian, Logics of Empowerment sangat mencerahkan dan mampu menjadi referensi untuk menyoroti program keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan.

Tujuan buku Logics of Empowerment ini menyelidiki politik, praktik, dan paradoks strategi pemberdayaan dan pengembangan perempuan subaltern yang disponsori perempuan dengan kacamata kritis antropologis dan feminis. Sharma menganalisa makna diskursif dan manifestasi material dari negara, pemberdayaan, pengembangan, subjektivitas subaltern perempuan, agensi dan perjuangan, dan praksis feminis di bawah neoliberalisme dengan wawasan yang diambil dari ekonomi politik, teori poststrukturalis, teori feminis, dan studi postkolonial. Oleh karena itu sekali lagi, buku ini bukan merupakan evaluasi atas keberhasilan atau kegagalan program pengembangan gaya pemberdayaan yang menargetkan wanita terpinggirkan, melainkan memperlihatkan bahwa pada program pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan pun berpotensi jatuh pada sistem dan kultur neoliberalisme, yang pada akhirnya pemberdayaan menjadi pendekatan atau model pembangunan tempelan yang sebenarnya tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Kegagalan Pembangunan (The Failure of Development)

The Government of India has a program called Mahila Samakhya, which works with women and children. Th is is a program about education and awareness-raising. We give all kinds of information. We are not like other programs that operate only on paper and then leave.We work with people from backward castes and classes [pichhade jati aur varg]3 . . . who do not have any information on government programs. We will give you information on women’s rights.

Logics of Empowerment adalah sebuah kajian etnografi yang menyajikan percakapan, kisah perjalanan, pengamatan penulis dalam mengkaji program MS. Dalam buku ini, Sharma juga henda menggali bagaimana Dalits di pedesaan memaknai dan melihat fungsi pembangunan itu sendiri sebagai salah satu aktor pembangunan dan target sasara program MS.

Sharma berargumen bahwa pembangunan itu saling kontradiktif dan juga secara bersaman berkorelasi dalam membentuk negara, kepribadian dan masyarakat. Kemudian pembangunan itu beroperasi sebagai kunci dalam melihat perbedaan sosia dan kemajuan ekonomi di seluruh komunitas kelas ataupuan kasta. Di India bukan hanya ada relasi antar kelas dan kasta namun juga relasi antara negara, negara bagian dan warga negaranya. Bahkan Sharma dalam buku ini mengatakan bahwa relasi negara dengan subjek (sasaran pembangunan) sama dengan relasi suami dengan istri, ada relasi gender didalamnya. Relasi gender tersebut bukan hanya ditandai dengan jenis kelamin sasaran saja, melainkan ideologi dan relasi antar aktor pembangunan yang diasumsikan oleh Sharma sebagai sesuatu yang maskulin.

Dalam pembangunan masyarakat bahkan kelompok subaltern pun adalah subjek pembangunan. Penelitian Sharma menguak bahwa konsep moralitas juga menjadi ukuran penting dalam proses pembangunan, moralitas pada sebagian kelompok subaltern dianggap sebagai hak untuk mengkritik ketidaksetaraan bakan diilhami sebagai keadilan. Sharma dalam penelitiannya ini menemukan bahwa ada dua faktor yang saling terkait dalam memperlihatkan kegagalan pembangunan, yaitu pertama ada konsepsi bahwa kebutuhan dasar diberikan dalam bentuk sumbangan, hal ini mengkritik kebijakan pembangunan dengan pendekatan wellfare/kesejahteraan sehingga mengecilkan hati kemandirian orang miskin. Tentu saja logika pemberdayaan ini muncul bukan tanpa alasan, dan wajar saja ketika ada pandangan bahwa pemberdayaan melampaui kesejahteraan, padahal Sharma melacaknya lebih jauh bahwa pendekatan pemberdayaan ini muncul karena keharusan negara untuk melakukan efisiensi, pengurangan pengeluaran untuk sumbangan dan sebagainya. Sehingga logika pemberdayaan ini membenarkan negara harus mundur dari upaya memenuhi kebutuhan dasar mereka yang termiskin. Kedua, pejabat setempat menuduh subyek subaltern gagal dalam pembangunan. Petugas negara menganggap mereka yang termiskin adalah mereka yang tidak bertanggung jawab atas hidup mereka, tidak mau berdaya dan sebagainya, tentu ini menjadi logika neoliberal. Sharma mengkritik soal kondisi termiskin tadi, bahwa bukan sebagai orang-orang yang tidak bertanggung jawab melainkan mereka yang termiskin justru menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka sebagai warga negara memiliki hak, dan kemiskinan tersebut tidak serta merta terjadi, dalam konteks India, Sharma mengungkapkan setidaknya ada 3 faktor yaitu kasta, kelas dan gender. Sehingga tak heran jika MS meyasar perempuan kasta terendah di perdesaan, maka mereka menjadi double minority.

Relasi Gender dalam Pembangunan

Persoalan gender dalam pembangunan tidak bisa dilupakan. Dalam kajian feminism multikultural penting melihat identitas perempuan yang berlapis berdasarkan ras, etnis, suku, kasta, kelas dan seterusnya. Pada faktanya meski melihat dengan kacamata feminis, kajian Sharma juga hendak menguak bahwa perempuan dengan kasta terendah adalah kelompok paling miskin dan dimiskinkan secara struktural dan kultural di India. Program-program pembangunan yang ada hendak menyelesaikan persoalan tersebut melalui program MS, namun sayangnya seperti apa yang ditulis Sharma bahwa pandangan tentang pembangunan di tingkat akar rumput pun masih bias gender. Misalnya dari percakapan peneliti dengan seseorang yang bernama Kumar, ia yang ditanya soal pembangunan, Kumar menjawab bahwa peran negara dalam pembangunan adalah sebagai regulator, pembuat kebijakan, merancang program, memastikan pendaan dan seterusnya. Tanggung jawab implementasi program berada pada LSM dan masyarakat. Pembangunan adalah hal dasar yang dibutuhkan manusia menurut Kumar, pembangunan bertujuan untuk memperbaiki kehidupan, akses terhadap makanan, transportasi, dan pendidikan. Pada komunitas subaltern ada konsepsi yang tumbuh tentang peran negara dalam pembangunan yaitu bahwa sebagai penyedia utama sedangkan pengelolaan ada di masyarakat.       

Kumar menyatakan bahwa “Desa ideal adalah desa yang dapat memanfaatkan berbagai fasilitas pembangunan yang disediakan untuk itu”. Dia Gunakan contoh berikut untuk menggambarkan maksudnya. Lebih lanjut Kumar mengatakan, “Saya membeli sayuran dan rempah-rempah dan membawa pulang ke istriku. Jika saya memiliki ibu rumah tangga yang baik, dia akan mengolahnya menjadi ramuan ataupun makanan yang lezat untuk saya”. Dalam hal ini jelas ada batasan peran negara dalam pembangunan sama seperti halnya peran gender laki-laki, logika ini digunakan untuk menjelaskan bahwa pemerintah adalah laki-laki yang membawa rancangan program dan dana, kemudian masyarakat akar rumput sebagai perempuan yang harus mengolahnya menjadi program yang baik. Dalam analogi ini tentu peran gender jelas terlihat dan sangat diskriminatif sehingga bukan relasi negara sebagai penyedia hak (duty barier) antara masyarakat yang penerima hak, melainkan relasi kuasa berbasis gender yang ada antara negara dengan masyarakat. Seperti ibu rumah tangga yang baik, penduduk desa seharusnya mampu memanfaatkan program secara tepat dan mengembangkan diri. Dengan demikian ideologi pembangunan menjadi paternalistik dan casteist, negara diidealkan sebagai penyedia hak yaitu laki-laki dan dermawan, dan penerima manfaat kasta rendah dikonstruksi sebagai yang feminim dan dijinakkan, dan patologis karena menjadi subyek yang tidak tepat.

Kajian Program Pemberdayaan Indonesia

Dalam konteks Indonesia, berbagai program yang melabeli diri sebagai pemberdayaan telah banyak bermunculan setidaknya sejak awal 90-an, mayoritas datang dari inisiasi LSM dan donor dari negara dunia pertama. Berbagai program yang menyasar pada kelompok perempuan paling miskin antara lain, PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) yang bertujuan untuk memandirikan ekonomi perempuan dengan identitas seorang kepala keluarga/penafkah utama yang selama ini berada dalam garis kemiskinan, kemudian ada program #IDWomen4Energy yang diusung oleh LSM Kopernik guna memberdayakan ekonomi perempuan dan menyalurkan teknologi tepat guna pada perempuan di daerah terpencil (last mile). Penelitian serupa dengan yang dilakukan Sharma sangat dimungkinkan juga dilakukan di Indonesia, meskipun ada beberapa perbedaan dalam hal aktor pembangunan, yaitu mayoritas adalah LSM/NGO, sedangkan negara hadir dalam bentuk kementerian langsung yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Tentu menjadi menarik jika dapat melakukan kajian etnografi perbandingan antara pemberdayaan LSM dengan pemberdayaan ala pemerintah di Indonesia, apakah keduanya sama-sama beresiko merepresi subjek khususnya perempuan hanya untuk memenuhi laporan-laporan lembaga donor?

Fenomena pembangunan hari ini ialah sulit untuk mengidentifikasi apakah proyek pembangunan adalah sebuah kepanjangan tangan kapitalisme, negara dunia pertama kepada negara dunia kedua. Contoh kasus adalah proyek penyaluran teknologi tepat guna oleh NGO Kopernik kepada perempuan, ibu rumah tangga di NTT. Kopernik merupakan NGO dari Jepang dan memiliki kantor di Ubud, Bali, Indonesia. Kopernik menyalurkan berbagai macam teknologi tepat guna seperti kompor biomassa untuk perempuan sehingga memberikan kontribusi terhadap pengurangan penyakit Ispa bagi perempuan di NTT. Kopernik bukan hanya menyalurkan namun juga memberdayakan ekonomi perempuan penerima manfaat dengan membuat model penjualan teknologi secara kredit dan ada koperasi. Proyek Kopernik merupakan salah satu bentuk proyek pembangunan dimana negara kolonial, Jepang memberikan proyek pembangunan kepada negara koloninya yaitu Indonesia.

Sejauh ini ketertarikan saya hendak mengkaji bagaimana program Kopernik untuk perempuan di daerah terpencil memberdayakan perempuan. Kopernik berusaha memberdayakan perempuan lewat teknologi tepat guna yaitu kompor biomassa, penyaring air, lampu surya dan sebagainya untuk memberikan akses perempuan terhadap kesehatan (karena melulu masak dengan kayu bakar), memberikan akses perempuan terhadap air bersih dan merupakan respons dari seruan menjaga suhu bumi agar tidak terjadi perubahan iklim. Meski demikian ada kecurigaan saya bahwa program ini pun tidak serta merta bebas nilai, meskipun ada kehendak baik dari donor dan kehendak untuk berubah dari masyarakat, namun pertanyaan selanjutnya bukankah perdebatan tentang teknologi di ruang domestik tersebut sebagai upaya untuk melanggengkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga? Jika pemberdayan ekonomi dihadirkan dalam bentuk penjualan produk teknologi tepat guna akhirnya menjadikan perempuan di daerah terpencil menjadi agen/ kepanjangan atngan produsen. Tentu pemupukan kesadaran akan relasi gender seharunya pun harus dilakukan, dalam konteks Indonesia maupun India. Sebagai negara berkembang dan regional Asia, India dan Indonesia memiliki problem gender yang sama, yaitu budaya lokal yang amsih memposisikan perempuan sebagai manusia kelas kedua. Tentu ini harus juga dilihat apakah selanjutnya proyek pembangunan yang datang dari LSM maupun negara melihat kelompok subaltern sebagai kelas kedua, yang perlu diubah dan berusaha melakukan pendisiplinan atas mereka.

Dalam melihat relasi tersebut perlu adanya kajian pembangunan. Saya akan menggunakan konsep governmentality dari Foucault dalam penelitian tersebut untuk menjelaskan bahwa bukan hanya negara yang menjadi aktor pembangunan, bahkan dalam konteks Indonesia proyek pemberdayaan masif dilakukan oleh LSM yang didanai oleh donor.Teori feminisme multikultural dan poskolonial juga digunakan sebagai alat analisis terkait program pembangunan Kopernik di Indonesia dalam melihat kebutuhan perempuan yang berbeda-beda, masalah yang berbeda-beda dan cara pandang yang berbeda. Teori feminisme poskolonial dalam pembangunan seperti yang dijelaskan McEwan sangat pening untk melihat konteks pembangunan di dunia ketiga, khususnya yang menyasar perempuan karena selama ini hegemoni gagasan pembangunan baratyang dominan. McEwan juga menguraikan bahwa perbedaan opresi dan pengalaman pada perempuan di dunia pertama dengan perempuan dunia ketiga perlu dilihat sehingga dapat menghasilkan pendekatan pembangunan yang dapat menjawab persoalan mereka. Dalam konteks India, Sharma juga menggunakan kacama mata feminisme poskolonial meskipun tidak terlalu banyak dibahas namun hal itu memiliki kesamaan dengan Indonesia, bahwa bantuan dan donor datang dari mantan koloni, terlebih lagi untuk bidang pendidikan. Selain itu teori feminisme multikultural juga penting sebagai alat analisis dalam kajian pembangunan khususnya yang menyasar pada perempuan kelompok tertentu, misalnya kasta terendah (Dalit) seperti dalam kajian Aradhana Sharma, perempuan papua, atau perempuan cina misalnya. Seperti yang diungkapkan Bell Hooks, salah satu feminis yang gencar menyuarakan multikulturalisme, bahwa dominasi atas rasis, kelas, seksis bukanlah sesuatu yang netral, namun disana ada power. Maka analogi bahwa rasis, kelas, seksis adalah power juga sejalan denganapa yang dibahas Sharma dalam bukunya mengenai konsepsi pembangunan yang bias kelas dan kasta di India.

Selanjutnya adalah penting bagi aktor pembangunan seperti LSM melihat berbagai persoalan dengan rinci bukan hanya menyodorkan program dan membuat laporan. Sehingga jika berefleksi dari Logics of Empowerment, bahwa problemnya bukan pada aktor pembangunan, apakah pemerintah atau LSM atau bahkan masyarakat sendiri, melainkan dari logika atau cara pandang dalam memaknai pemberdayaan, sejauh apa pembangunan dapat dikatakan sebagai sebuah pemberdayaan? Apakah logika pemberdayan masih terjebak dalam logika neoliberal? Apakah benar program Kopernik di Indonesia adalah sebuah pemberdayaan ataukan sebuah program yang membuat masyarakat sebagai kepanjangan tangan kapitalisme? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab oleh studi kritis antropologi pembangunan.

Daftar Pustaka:

Connely et al. (2000). “Feminism and Development: Theoretical Perspectives”. In Parpart et al. Theoretical Perspectives on Gender and Development. Ottawa: IDRC.

Ferguson, J. (2005). Anthropology and It’s Evil Twin: ‘‘Development’’ in the Constitution of a Discipline. In P. Shipton, The Anthropology of Development and Globalization (pp. 140-153). UK: Blackwell publishing.

Gardner, K., & Lewis, D. (2015). Anthropology and Development: Challenges for the Twenty-First Century. London: Pluto Press.

Gow, D. D. (2002). Anthropology and Development: Evil Twin or Moral Narrative? Human Organization, 61(4), 299-313.

Li, Tania. M. (2007). The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.

McEwan, Cheryl. (2001). “Postcolonialism, Feminism, and Development: Intersections and Dilemas”. Progress in Development Studies 1, 2 (2001) pp. 93–111.

Sharma, Aradhana. (2008). Logics of Empowerment: Development, Gender, and Governance in Neoliberal India. Minnesota Publishing.

Tong, Rosemarie Putnam.. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj). Jalasutra:Yogyakarta. 1998. Print.                                            


[1] Govermentality adalah konsep dimana ada pengetahuan yang bekerja bukan hanya state namun juga aktor pembangunan lainnya, seperti NGO, masyarakat adat, antropolog, world bank dll. Govermentality mengasumsikan bahwa ada unsur pengathuan dan kesadaran untuk maju sehingga tiap-tiap aktor pembangunan memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini juga menjelaskan bahwa tidak ahanya negara yang memiliki conduct of conduct namun juga aktor lain dan bukan merupakan monopoli negara.

[2] Kepengaturan (order) dijelaskan oleh Tania Li sebagai niat baik untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Kepengaturan menurut teori Michel Foucault adalah “pengarahan perilaku”, yakni upaya untuk mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa tujuannya adalah untuk menjamin “kesejahteraan masyarakat”, perbaikan keadaan hidup, peningkatan kemakmuran dll.

[3] Pendisiplinan sebagai bentuk dari mengatur perilaku dan moral melalui pengawasan ketat seperti sekolah, penjara, yang dianggap lebih terukur, terarah.

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *