Let’s Make Herstory! (Mengangkat Narasi Perempuan, Melawan Patriarki)

Andi Nur Faizah

“Kejadiannya waktu di Kalimantan Utara, saya masih kelas 3 SD. Pelakunya tetangga dekat rumah waktu itu pelajar SMA. Saya bahkan tidak sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang tersebut adalah sexual abuse. Saya berulang, kalau datang ke rumahnya dan disentuh di bagian vagina.”

Kutipan di atas adalah salah satu cerita dari seorang perempuan yang mengalami pelecehan seksual pada saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Kisah tersebut terkuak ketika saya membuat insta-story di instagram dan mengajak para perempuan muda untuk menceritakan pengalamannya terhadap kekerasan.  Kisah demi kisah tertutur dari mulut mereka, dari para perempuan yang tidak tahu harus menceritakannya kepada siapa. Umumnya mereka diam dan tidak melaporkannya kepada siapapun. Mengapa? Karena terkadang kita tidak percaya ketika mendengar perempuan mengalami pelecehan seksual yang pelakunya adalah orang terdekat. Sebab kita selalu menganggap bahwa kejadian itu tidak nyata atau bahkan khayalan semata. Mungkin juga, karena kita terlalu sibuk dengan bukti dan tanpa alat bukti, tragedi kekerasan seksual tidak dapat menjadi sebuah “fakta”. Lantas, suara perempuan itu sendiri cenderung diabaikan dan dianggap tidak valid.  

Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2017, sebanyak 5.784 kasus kekerasan terjadi terhadap istri, sebesar 2.171 kasus kekerasan terjadi di dalam berpacaran, dan 1.799 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.

Pertanyaannya, mengapa diskriminasi, stigmatisasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda perempuan masih terus menerus terjadi?

Kegelisahan tersebut akhirnya mendorong saya untuk membuat suatu wadah berupa media edukasi melalui instagram dengan nama “perempuanpeduli”. Upaya ini saya lakukan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat luas, khususnya para perempuan muda untuk lebih peduli terhadap isu gender. Gender itu sendiri adalah pembedaan posisi dan peran terhadap perempuan dan laki-laki yang terkonstruksi di dalam masyarakat terkait peran, posisi, dan tanggung jawabnya. Misalnya, perempuan ditempatkan di dapur (ranah domestik), sedangkan laki-laki bekerja di luar rumah (ranah publik). Bias gender inilah yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan.    

Banyak isu yang diangkat di dalam “perempuanpeduli”, salah satunya adalah isu kekerasan. “Perempuanpeduli” juga sempat berkolaborasi dengan “helpnona”, sebuah organisasi yang bergerak pada isu kekerasan dalam pacaran dan membuat tema besar “cinta bukan luka”. Melalui kolaborasi tersebut, saya membuat ilustrasi berdasarkan pengalaman langsung dari para penyintas kekerasan.

Mengapa harus mengangkat pengalaman para perempuan muda terkait kekerasan yang mereka alami? Karena cara ini dapat digunakan untuk mengajak para perempuan lainnya untuk turut bersuara. Agar mereka tidak merasa sendiri dan melihat bahwa banyak perempuan lain yang juga mengalami hal yang sama. Sebab masih banyak perempuan yang mengalami kekerasan, namun kebingungan mencari pertolongan. Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es dan saya meyakini masih banyak perempuan di luar sana yang mengalami kekerasan namun tidak tercatat di dalam pendataan.

Sekali lagi, kekerasan terhadap perempuan terjadi karena bias gender di dalam ideologi patriarki yang tertanam di kepala kita. Perempuan “diciptakan” untuk pasif, penurut, patuh, tabah, lemah lembut, penyabar, penyayang, dan sebagainya. Sementara laki-laki didorong untuk aktif, agresif, dan kuat. Implikasinya, perempuan cenderung sabar, patuh, dan menerima ketika mengalami kekerasan. Sedangkan laki-laki merasa “wajar” melakukan kekerasan sebagai wujud kekuatan, memimpin, dan dominasi dalam sebuah hubungan.

Banyak dari kita yang sering mempertanyakan keadilan gender. Ngapain sih perempuan menuntut keadilan? Ngapain perempuan menuntut kesetaraan? Sebetulnya, setara yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya. Saya yakin, akan ada yang berpikiran seperti ini: “lah, wong semua orang udah dikasih kesempatan yang sama kok. Perempuan dan laki-laki sama aja.”

Faktanya, jumlah keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia sangat rendah. Tingkat partisipasi perempuan di dunia politik pada pemilu tahun 1955 sebesar 5.06% dan pada tahun 2014 hanya sebesar 17,32%. Pada periode 2014-2019, jumlah perempuan di DPR hanya sebanyak 97 orang dari total 560 orang anggota DPR RI. Jumlah keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Timor Leste, Filipina, Laos, Vietnam, Singapura, maupun Kamboja.

Mengapa keterwakilan perempuan rendah? Faktornya banyak. Ada faktor budaya, interpretasi agama, ekonomi, pendidikan, proses seleksi dalam partai politik, hingga ideologi patriarki yang menghambat perempuan untuk maju (pemahaman bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, perempuan lebih mengandalkan perasaan dibandingkan logika, perempuan lebih baik di rumah, perempuan tidak perlu sekolah tinggi, dan sebagainya).

Berbicara tentang politik sebetulnya bukanlah hal yang jauh dari diri kita sebagai individu. Para pemikir feminis radikal sebetulnya telah mengungkapkan sejak dahulu kala, dengan slogan “personal is political”. Kenyataannya, tubuh perempuan itu dikontrol. Mulai dari anak-anak sampai menjadi perempuan dewasa (contohnya, cara berpenampilan, pemakaian KB, penentuan jumlah anak, dan sebagainya). Padahal, perempuan punya hak untuk menentukan sesuatu yang berkaitan dengan tubuhnya sendiri. Para feminis radikal ingin para perempuan untuk merebut kembali otonomi atas tubuhnya sendiri (misalnya, mampu dengan bebas memutuskan pakaian yang akan dikenakan, memutuskan ingin menggunakan KB atau tidak, menentukan jumlah anak, dan sebagainya). Upaya untuk merenggut otonomi tubuh itulah yang disebut dengan tindakan politis. Artinya, politik adalah sesuatu yang sangat dekat dengan diri kita sendiri.

Berbicara mengenai politik juga tidak lepas dari pemahaman masyarakat secara umum, bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki yang sangat maskulin dan tidak cocok untuk perempuan. Padahal, perempuan adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi secara aktif pada setiap bidang. Manakala pejabat publik didominasi laki-laki dengan pemahaman maskulin,  efek yang timbul adalah kebijakan yang bias gender.

Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, pada 10 tahun terakhir terdapat  154 peraturan daerah yang diskriminatif. Misalnya, kebijakan daerah yang merugikan buruh migran perempuan, aturan tata cara berpakaian kepada perempuan pegawai negeri pada beberapa daerah (mengatur cara berpakaian perempuan), pengaturan jam malam kepada perempuan (membatasi ruang gerak perempuan tanpa melihat bahwa banyak perempuan single parent maupun perempuan berkeluarga lainnya yang mencari nafkah untuk keluarganya).     

Masih banyak isu lainnya yang harus dibongkar untuk membuka mata publik bahwa ketimpangan masih terjadi dan fenomena ini perlu ditangani bersama. Saya berharap, “perempuanpeduli” dapat menambah titik terang bersama gerakan perempuan lainnya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Let’s make herstory!

(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Nosa tahun 2018)

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *