5 Hal dari Feminisme yang Mengubah Hidupku

  1. Mengasah Kepekaan

Melalui feminisme, aku belajar bahwa perempuan memiliki situasi yang berbeda-beda. Perempuan bukanlah entitas yang homogen, tetapi beragam dari aspek usia, kelas ekonomi, pendidikan, pekerjaan, kondisi biologis, budaya, dan sebagainya. Kalau kita peka, maka kita juga bisa memahami bahwa kondisi perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan punya pengalaman biologis dan sosial yang berbeda. Pengalaman biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sedangkan pengalaman sosial seperti marginalisasi (terpinggirkan), subordinasi (dianggap tidak penting), stigmatisasi (mendapat label tertentu), kekerasan, dan beban berlapis (beban rumah tangga, beban di ranah publik, dan sebagainya).

Bukannya menganggap laki-laki tidak penting, tetapi perempuan memiliki posisi yang sangat krusial dan bahkan angka kekerasan terhadap perempuan sangat tinggi (karena ideologi patriarkal). Bayangkan, ketika perempuan harus bekerja di ranah publik, garis startnya berbeda dengan laki-laki. Karena perempuan harus dihadapkan dengan tugas-tugas rumah tangga sebelum keluar rumah. Perannya sebagai istri sekaligus ibu yang memberikan beban tersendiri. Maka tidak heran, angka perempuan yang menempati posisi tinggi (seperti direktur, manager, dsb) sangat rendah dibandingkan laki-laki.

2. Empati

Ketika belajar feminisme, aku juga belajar untuk empati kepada sesama perempuan. Karena sebagai perempuan, kita juga merasakan beban dan pengalaman yang sama dengan perempuan lain. Lewat feminisme, aku belajar bagaimana mengasah rasa empati kepada penyintas kekerasan, tidak menganggap remeh cat calling (karena ini adalah bagian dari pelecehan), berusaha menjadi pendengar saat sesama perempuan menceritakan kisahnya, dan sebagainya. Empati juga bisa mengajarkan aku untuk lebih sensitif terhadap pengalaman perempuan, seperti memahami bahwa mereka merasa tidak nyaman ketika ditanya kapan menikah, kapan punya anak, atau bahkan kenapa tidak bisa mengeluarkan ASI. Intinya adalah bagaimana turut merasakan pengalaman orang lain yang beragam. Empathy: “the visceral experience of another person’s thoughts and feelings from her point of view, rather than from one’s own.”

3. Relasi Setara

Semangat feminisme adalah mendobrak relasi yang menguasai/ power over. Nah, yang umumnya sering disalahpahami adalah feminis itu adalah perempuan-perempuan yang ingin menginjak laki-laki. Padahal tidak demikian. Feminisme justru ingin membuat relasi yang setara, tidak ada yang mendominasi atau ingin menguasai. Sesama manusia saling menghargai, tanpa membuat jarak, dan tetap welas asih. Ini aku pelajari ketika berelasi dengan dosen-dosenku di kampus. Mereka sangat santai, mahasiswa satu meja duduk bersama sambil ngopi dan cerita apa saja. Mahasiswa seperti partner dan kita bisa jalan-jalan bareng. Hal ini juga aku terapkan dengan pasanganku. Prinsip “kesalingan” ini yang kami pegang: saling menghargai, saling menyayangi, saling membantu satu sama lain, saling terbuka, dan sebagainya.

4. Sisterhood

Sisterhood : the solidarity of women based on shared condition, experiences, or concern. Sebagai sesama perempuan yang juga turut merasakan pengalaman perempuan, kita punya kekuatan bersama untuk saling menguatkan. Ini istilahnya biasa disebut “power with”, kekuatan bersama/ komunitas yang saling mendukung. Semangat ini terlihat misalnya bagaimana perempuan menyediakan layanan untuk para penyintas, mendukung sesama perempuan yang membuat usaha kecil-kecilan, mendukung keputusan perempuan tanpa memberi label (misalnya keputusan perempuan untuk bekerja di luar rumah), solidaritas dalam kampanye menolak kekerasan terhadap perempuan, dan sebagainya. Biasanya aku membeli produk-produk hasil olahan yang dibuat oleh perempuan (madu, kopi, tenun, dan sebagainya) dari lembaga yang bergerak dalam bidang penguatan/ pemberdayaan perempuan di akar rumput.

5. Menerima dan mencintai diri

Lewat feminisme, aku belajar untuk memaafkan, menerima, dan mencintai diri sendiri. Aku dulunya pernah mendapat bully atau sindiran karena kulitku yang tidak putih dan badanku yang terlalu kurus. Aku sampai minum jamu penggemuk badan biar badanku berisi. Kecantikan perempuan sebetulnya dikonstruksi, yang ujung-ujungnya untuk komoditas. Ya misalkan, biar cantik musti pakai produk a, b, c. Kulit harus putih, rambut lurus, tubuh langsing, dan sebagainya. Ini tidak serta merta mengatakan bahwa perempuan yang menggunakan produk kecantikan itu mengalami “kesadaran palsu” lho ya. Karena yang terpenting adalah kita sebagai perempuan sadar, kenapa menggunakan produk itu, dan apa sebetulnya tujuannya (kita mampu menumpukan kebahagiaan ada pada diri kita, bukan karena menggunakan produk tertentu).

Kalau kamu, bagaimana feminisme mengubah pandangan hidupmu?

(Andi Nur Faizah)PEREMPUANPEDULI

SHARE THIS:

LIKE THIS:

https://widgets.wp.com/likes/index.html?ver=20200826#blog_id=154683183&post_id=454&origin=perempuanpeduli.wordpress.com&obj_id=154683183-454-5f635c5041e29

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *