Sosok “liyan” Diri Seorang Perempuan: Refleksi Pemikiran Feminsime Eksistensialis

Pemikiran Feminisme Eksistensialis tidak dapat terlepas dari pemikiran filsuf Eksistensialis seperti Jean Paul Sartre. Melalui konsep tersebut, Simone de Beauvoir secara khusus menyatakan pembedaan perempuan sebagai “liyan” dan laki-laki sebagai “sang diri”. Oleh sebabitu, Feminisme Eksistensialis berupaya berupaya mencari tahu mengapa masyarakat menjadikan perempuan sebagai sosok “Liyan” dan laki-laki sebagai “sang diri”. Sebab, pada akhirnya konsep tersebut memiliki implikasi bahwa laki-laki mempunyai kemampuan untuk mengontrol dan mengopresi perempuan. Padahal seharusnya perempuan ada untuk dirinya dan dalam dirinya sendiri juga. 

Melalui proses sosialisasi secara terus menerus, perempuan dipaksa untuk menerima ke-liyanan dirinya oleh mekanisme diri/subjek (Beavoir dalam Tong, 269). Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga yang berperan besar dalam membentuk keliyanan tersebut adalah perkawinan dan motherhood (fungsi pengasuhan di atur secara patriarkis). Peran sebagai istri membatasi kebebasan perempuan (kehidupan yang tidak berambisi dan berhasrat), menuju kematian tanpa menanyakan tujuan kehidupannya. Perkawinan merampas kemampuan perempuan untuk menjadi hebat, namun diterima karena adanya iming-iming “kebahagiaan” oleh subjek atas ke’liyanannya.

Pembatasan kebebasan memang benar terjadi karena dibuktikan secara langsung dari cerita dan pengalaman Fani Fadzhilah. Cerita tersebut muncul dalam rubric Mom’s Story berjudul “Bahagianya Aku Menjadi Ibu Rumah Tangga” (www.rumahbunda.com, 9 April 2012). Pada masa sebelumnya, saya tidak memiliki tendensi apa-apa jika melihat tag line maupun perdebatan mengenai perempuan yang lebih memilih di rumah atau bekerja. Namun, setelah mengetahui pemikaran Beauvoir betapa perkawinan sebagai lembaga yang melegitimsasi pembentukkan perempuan sebagai sosok liyan. Seperti dalam petikkan cerita berikut.

” Surga di bawah kaki ibu. Tapi mengapa aku justru bangga sebagai wanita karir, aku yang sarjana justru menyerahkan anakku pada pendidikan pembantu yang riwayat pendidikannya dibawah ku.  Tapi masihkah ada surga di bawah kaki ibu seperti aku. Ibu yang tidak menyusui anaknya 2 tahun penuh. Yang hanya asyik ngerumpi di kantor sementara anak main sama pembantu, ibu yang sibuk buka internet kantor cari-cari baju terbaru biar tetap modis dilihat (suami) orang, ibu yang asyik makan siang di café sementara anaknya di rumah. Aku memutuskan berhenti bekerja. Aku ingin berhenti bekerja demi anak dan suami” (Fani Fadzhilah, Tangerang 9 April 2012)

Suasana dan pemikiran perempuan yang demikian mampu menjelaskan secara konkrit pemikiran Beauvoir. Perempuan tidak boleh memiliki kebebasan menikmati kehidupannya. Perempuan tidak boleh menikmati perkembangan karir dan intelektualnya karena ikatan perkawinan dan fungsi mothering yang dikonstruksi secara patriarki. Keputusan yang diambil oleh Fani jelas mengandung unsur paksaan agar ia kembali ke rumah dan mengubur hasrat pengembangan dirinya. Pada akhirnya, perempuan dipaksa untuk menerima ke-liyanan dirinya oleh suami hingga keluarga maupun lingkungan di sekitarnya. Hal ini seolah menjelaskan bahwa perempuan tidak memiliki sisi esensial dalam kehidupannya sendiri. Segala bentuk perilaku dan pemikirannya harus dipersembahkan kepada laki-laki maupun anaknya. Hak perempuan atas kebebasan dirinya menjadi tercerabut karena perempuan harus menerima bahwa dirinya sebagai “liyan”, dia yang terasing dari dirinya sendiri. 

Lebih lanjut lagi, posisi perempuan sebagai sosok liyan juga terlihat dalam cerita Fani yang selanjutnya seperti dikutip pada bagian berikut ini

“Aku menyadari sudah bersalah karena selama ini seharusnya kecantikan dan sikap terbaik istri adalah hak suami. Setiap waktu, aku merasa selama bertahun-tahun memberikan hak suami dan anak kepada laki-laki lain yang tidak ada hak atas diriku sendiri” (Fani Fadzilah, Tangerang 9 April 2012)

Selain menjelaskan perannya sebagai ibu yang wajib untuk merawat anaknya, kondisi perempuan yang terlepas dari dirinya sendiri juga terjadi saat perempuan ingin mencapai kecantikan. Standart kecantikan perempuan harus ditentukan oleh orang disekitarnya. Narsisme seorang perempuan sebagai istri dan ibu tidak lah dibenarkan. Fani mempercayai bahwa dirinya merupakan objek dan dibenarkan oleh lingkungan sekitarnya. Narsisme dapat menghambat kemajuan diri perempuan, jika ia terikat untuk menyesuaikan diri dengan pemenuhan hasrat laki-kaki dan selera masyarakat. Karena, penghormatan kualitas perempuan (narsistik) bergantung dari penilaian lingkungan di luar tubuhhnya. Perempuan tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menyatakan wujud kecantikannya (Beauvoir dalam Tong, 272) 

Kebebasan perempuan yang dikekang melalui perkawinan dan sistem pengasuhan ibu (karena patriarki) semakin diperkuat dengan nasihat-nasihat berkedok agama. Sebuah artikel berjudul “Hai Istri Jangan Tinggalkan Anak di Rumah Demi Karir oleh Irena Handono”, berisi tentang ajarannya bahwa orang tua yang tidak mendidikan akan menyebabkan anak-anaknya terjerumus pada lembah kenistaan dan kesesatan. Ia juga menekankan bahwa perilaku anak sebagian besar sangat ditentukan oleh keberadaan seorang ibu. Singkatnya, jika ibu banyak meninggalkan pekerjaan utamanya yaitu mengurus anak, maka ibu juga tidak akan dihargai oleh anak-anaknya. Selain itu, Irena Handono juga menganalogikan anak sebagai gaun yang sangat mahal dan patut dijaga super ketat. Irena berpesan bahwa anak jangan dititipkan kepada “orang yang tidak terpelajar”. Ia berpaya menjelaskan dan menyadarkan bahwa perempuan yang meninggalkan anaknya demi alasan bekerja adalah tidak benar. Keliru jika wanita bekerja di kantor atau pabrik. Sebab, ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia dan pendidikan yang utama. (Robigusta Suryanto, m.hidayatullah.com)

Bahkan, sosok seperti Irena Handono yang memiliki banyak pengikut juga menjerumuskan perempuan sebagai sosok “liyan”. Perempuan (istri atau ibu) tidak mampu lagi hidup untuk dan dalam dirinya, melainkan hidup bagi yang lain. Menurut Beauvoir, kehadiran anak tampaknya membebaskan perempuan dari status objeknya. Dengan kata lain perempuan mendapatkan status objek yang dicari laki-laki dalam diri perempuan. Namun, tanpa disadari bahwa fase pengekangan kepada perempuan justru dimulai dari proses pernikahan, hamil hingga melahirkan. Fase selanjutnya, anak menjadi tiran yang menuntut dan menjdikan ibunya sebagai objek. Dilanjutkan dengan ibu yang memanfaatkan anaknya sebagai objek dan berharap mendapat kompensasi dari frustasi akan kebebasan yang selama ini sudah direnggut oleh kelompok subjek/diri. 

Konsep “liyan” perempuan dalam diri anak nantinya juga akan berkembang terus menerus menjadi sosok istri atau ibu, tidak bebas dan tidak memiliki esensi kediriannya untuk memilih apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Jelas saja bahwa Beauvoir melihat bahwa pernikahan dan motherhood memegang pera penting dalam sosialisasi dan internalisasi “liyan” yang dikonstruk secara patriarkal oleh masyarakat. Nilai yang terdapat pada peran perempuan dalam dunia sosial tersebut bukan berasal langsung dari pemikiran perempuan sendiri, melainkan atas persetujuan dan konstruksi laki-laki. Menurut Kauffman McCall, opresi perempuan terjadi karena dua hal yaitu fakta historis yang berulang dan berhubungan bahwa perempuan tersubordinasi oleh laki-laki, serta perempuan telah menginternalisasi cara pandang luar bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan bukan sosok esensial (Beauvoir dalam Tong, 262).

Seperti pandangan Kaufmann McCall, perkawinan merupakan fakta historis berulang yang terjadi pada setiap iindividu baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kondisi demikian, laki-laki yang menjadi sosok paling diuntungkan. Karena segala sesuatu yang dilakukan perempuan (khususnya istri maupun ibu) berorientasi pada pemenuhan kesenangan laki-laki. Istri atau ibu hanya digunakan laki-laki sebagai alat untuk memenuhi adanya sebagai sosok “subjek”. Bahkan, perempuan harus memiliki rasa bersalah jika perempuan memiliki esensi dirinya, misal perempuan lebih memilih karir dibanding merawat anak di rumah. Sementara, laki-laki bebas memilih dan melakukan apa yang dianggap benar, anehnya kebebasan itu diinternalisasikan sebagai satu kewajaran. 

Ironisnya, saya melihat banyak sekali perempuan yang “menerima” sosok dirinya sebagai “liyan” di Indonesia. Bahkan, mereka justru bangga dengan pandangan masyarakat ketika mereka melakukan pengorbanan dengan memilih anak maupun keluarga. Kondisi tersebut terjadi pada sebagian besar perempuan, tidak memandang kelas sosial, strata pendidikan, ras, usia maupun factor lainnya. Padahal, pembatasan tersebut justru memundurkan perempuan di masyarakat. Oleh sebab itu, Beavoir berharap agar perempuan melepaskan beban yang menghambat kemajuan menuju Diri/Selfhood melalui pemberdayaan kolektive. Meskipun saat ini kondisi sosial, hukum, politik, ekonomi berpijak pada patriarkal. Namun, Beauvoir tetap optimis bahwa system tidak mampu secara utuh dan total memenjarakan perempuan. 

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhka kesadaran antara lain  pekerjaan di sector publik, pendidikan, transformasi sosial dan kekuatan ekonomi. Selain itu, hal yang lebih penting adalah perempuan juga harus merombak citra ideal mengenai dirinya dan memegang kendali atas apa yang disebut sebagai baik, cantik, hebat dan sebagainya. Perempuan perlu melakukan pendefinisian ulang terkait perannya sebagai istri, ibu dengan konsep narsisme yang dianggap nyaman dalam kehidupannya. Perempuan tidak perlu menjadi boneka yang digerakkan atas dasar kesenangan dan pandangan laki-laki maupun lingkungan sosial. Perempuan berhak meraih kebebasan, kesempatan untuk diri sendiri dan yang lain sesuai dengan pilihan yang dilakukan secara sadar. Karena, perempuan juga memiliki esensi ada dalam dirinya dan ada untuk dirinya untuk menegaskan bahwa dirinya adalah subjek dalam kehidupannya.

(Fitria Sari)

Daftar Pustaka

https://www.hidayatullah.com,jangan-tinggalkan-rumah-demi-karir, retrieved 29 Oktober 2016, 14.34 WIB

www.rumahbunda.com,bahagianya-aku-menjadi-ibu-rumah-tangga, retrieved 29 Oktober 2016, 14.55 WIB

Tong, Rosmarie Putnam. 1988. Feminist Thought a more comprehensive introduction (sec.dition). Colorado: Westview Press (terjemahan Aquarini Priatna Prabasmoro)

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *