Menjaga Nyala Perjuangan Kartini

Kebijakan yang muncul belakangan ini kian meresahkan. Dari berbagai aksi, tidak jarang terjadi kekerasan kepada para pendemo. TAUD (Tim Advokasi Untuk Demokrasi) mencatat, terjadi kekerasan oleh aparat pada 15 titik aksi (pada periode 21-28 Maret 2025). Sejumlah 68 orang mengalami luka-luka dan 153 orang ditangkap oleh aparat. Sedangkan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) mencatat ada 22 kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis di tiga bulan pertama 2025 dan ada lima jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan. Pun intimidasi pada jurnalis perempuan dialami Francisca Christy Rosana atas kasus pengiriman kepala babi hingga bangkai tikus pada Maret 2025.  

Demokrasi yang Menggelisahkan

Kebijakan yang mengarah pada otoritarianisme mendorong Suara Ibu Indonesia untuk melakukan aksi di depan Sarinah Thamrin pada 28 Maret 2025. Mereka menolak revisi UU TNI, mendorong kemerdekaan bersuara demi kemanusiaan juga keadilan. Dalam wawancara Kompas (28/3), Ririn Sefsani selaku koordinator aksi mengungkapkan, “kami tidak ingin Indonesia menjadi rezim militer. Kami tidak ingin represi dan ruang demokrasi makin dihabisi. Kita tidak ingin aspirasi rakyat dibungkam. Kita tidak ingin membiarkan elit kekuasaan yang dipilih lewat prosedur demokrasi mengkhianati rakyat.”

Dari laporan INFID pada 2024, ruang gerak masyarakat sipil di Indonesia berdasarkan CIVICUS Monitor berada pada status terhalang (obstructed) dengan skor 44/100. Dalam laporan tersebut juga disebutkan, pemerintah dinilai kurang melibatkan organisasi yang bersikap kritis, juga tidak melibatkan organisasi berbasis kelompok marjinal dan organisasi perempuan. Meskipun Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur tentang ruang sipil yang diratifikasi dari peraturan internasional, tetapi peraturan tersebut belum benar-benar dijalankan. 

Ketika ruang gerak masyarakat sipil kian menyempit, maka pihak yang mendapat imbas langsung adalah perempuan. Pertama, perempuan semakin terbatas aksesnya untuk memperoleh hak-haknya. Kedua, partisipasi dan suara perempuan semakin terpinggirkan bahkan dibungkam. Situasi ini akan membuat perempuan makin rentan mengalami kekerasan–baik secara luring maupun daring, utamanya pada Perempuan Pembela HAM (PPHAM). Ketiga, perempuan akan semakin sulit untuk mendapatkan manfaat dari kebijakan yang ada. Apalagi saat kebijakan yang dibuat oleh elit tidak berlandaskan studi ilmiah atau kajian berbasis bukti.   

Lalu, bagaimana kita merawat harapan dan kekuatan kolektif? Mungkin kita bisa mencari titik terang dengan merefleksikan kegelisahan Kartini yang juga menjadi kegalauan kita di masa kini.   

Kartini dan Gelora Anti Penindasan 

Penindasan pada perempuan adalah keresahan Kartini sejak lama yang tertuang dalam surat-suratnya. Ia sangat marah pada hukum yang hanya menguntungkan laki-laki tanpa memedulikan kepentingan perempuan. Ia mendambakan perempuan yang bersemangat dan berjuang untuk masyarakat luas, serta bekerja untuk kebaikan sesama manusia. Dalam surat Kartini yang ditujukan pada Estella Zeehandelaar pada 25 Mei 1899 tertulis: 

Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang “gadis modern”, gadis yang bersemangat, yang berdiri sendiri, yang memiliki simpati penuh, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, ceria, dan gembira, penuh semangat dan perasaan hangat. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat yang luas, bekerja demi untuk kebaikan banyak sesama manusia.

Bahkan dalam pingitan di usia 12 tahun–dalam suratnya Kartini menyebut angka 12,5 tahun, ia terus bersemangat membaca buku meski raganya terpenjara. Kartini bercerita dalam gaya orang ketiga pada Agustus 1900 kepada E.C. Abendanon:  

Selalu ia suka membaca, tapi kini kecintaannya pada pustaka telah menjadi candu. Segera setelah pekerjaan yang ditugaskan kepadanya selesai, tangannya pun menggapai buku, atau koran. Segala-galanya ia baca apa saja yang jatuh di bawah matanya. 

Bahkan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menjadikan Kartini sebagai nama majalah, yaitu Api Kartini. Gerwani sadar betul bahwa mereka perlu untuk meneruskan semangat Kartini dengan meningkatkan keterampilan, melakukan pertemuan-pertemuan, juga berorganisasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan

Memupuk Harapan dan Semangat Perjuangan

Kegalauan Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya nyatanya masih relevan dengan kondisi sekarang. Perihal penindasan, kekerasan, dan penyempitan ruang gerak perempuan. Pemikirannya perlu kita refleksikan untuk merawat bara perjuangan di tengah kondisi negara yang kian mencemaskan. 

Pertama, ketangguhan Kartini untuk terus mengasah pengetahuannya lewat membaca juga mengkritisi situasi yang terjadi. Kita perlu merawat pengetahuan, membaca dan menulis, dengan merekognisi pengalaman perempuan dan kelompok marjinal lainnya. 

Kedua, Kartini adalah sosok yang penuh dengan empati. Ia menolak feodalisme dan memiliki pengetahuan mendalam tentang rakyatnya lewat bacaan dari karya-karya Multatuli. Dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar pada 12 Januari 1900, Kartini bercerita tentang kehidupan para pegawai dan betapa ia sangat menjerit terhadap perlakuan penguasa pada rakyatnya.  

Seorang jurutulis distrik yang sehari-hari menulis dan menulis sampai bongkok, sebulannya menerima sejumlah gaji yang tak terkirakan dan dengan gajinya itu ia harus hidup bersama keluarganya, membayar sewa rumah, berpakaian rapi…Kaum bangsawan hendak pegang sendiri seluruh peran; dia sendiri saja yang mau pegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri, dan dia sendiri saja yang semestinya menguasai peradaban dan kemajuan Eropa.  

Ketiga, surat-surat Kartini yang ditujukan kepada para sahabat pena memperlihatkan bahwa kita juga perlu untuk terus bertukar pikiran, mendiskusikan keresahan, dan berjejaring. Dari situlah solidaritas dan kekuatan kolektif dipupuk. Lebih jauh, gerakan perempuan perlu berefleksi secara mendalam, melihat kembali kekuatan dan kelemahannya. Juga mempertimbangkan gap generasi, memperkuat basis di akar rumput, serta memperhatikan regenerasi untuk memastikan nyala api gerakan di masa mendatang.

(Penulis: Andi Faizah)

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *